Makalah Filsafat Kontemporer

Filsafat Kontemporer

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Manusia tercipta diberi kelebihan diantara makhluk-makhluk lain yang berada di dunia ini, yakni kemampuan berfikir yang luar biasa melalui akal pikiran dan budi daya. Dengan akal pikiran manusia berfikir akan kebenaran serta daya kemampuan untuk tetap surfive. Apabila akal dipergunakan secara mendalam, fundamental, hakiki dan universal akan lahir apa yang dinamakan filsafat. Zaman sejarah dimulai sejak manusia dapat mendokumentasikan hasil pemikian dan kebudayaan atau peradaban, dari sini timbul sebuah metodologi tentang hasil pemikiran yang biasa dikenal dengan filsafat.
membaca ulang, transformasi dan rekreasi yang merupakan kita sebagai manusia dari zaman awal sampai sejarah kita saat ini. Silsilah kita sekarang memungkinkan kita untuk maju, sehingga dalam mencari tambahan dan cara berpikir yang baru. The Spesialisasi dalam Filsafat Kontemporer merupakan sebuah ruang istimewa mungkin untuk mengatasi beberapa perdebatan besar dan masalah kontemporer melalui pikiran filsuf yang paling berpengaruh pada zaman sekarang.
Zaman Kontemporer dimulai pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat kontemporer memiliki sifat yang sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika, fisika, sosiologi, dan ekonomi.
Filsafat Kontemporer Indonesia terlahir dari kritik kolonialisme, imperialisme dan liberalisasi, dan lahirnya demokratisasi dan humanisme  dalam segala aspek kehidupan, dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Filsafat Kontemporer
2.      Tokoh Dan Pemikiran Filsafat Kontemporer
3.      Karakteristik Pemikiran Filsafat Kontemporer




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Pengertian filsafat Kontemporer
Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Filsafat, secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’ berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
     Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut kontemporer.
     Filsafat Kontemporer juga bisa diartikan dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini.[1]

B.     Tokoh Dan Pemikiran Filsafat Kontemporer
1.      Pragmatisme
Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Sedangkan menurut istilah adalah berasal dari bahasa Yunani “ Pragma” yang berarti perbuatan ( action) atau tindakan (practice). Isme sendiri berarti ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikran itu menuruti tindakan.[2]
Aliran ini sangat terkenal di Amerika Serikat. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran. Kelompok ini bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti bentuk – bentuk aliran materialisme. Beberapa tokoh yang melahirkan aliran Pragmatisme antara lain adalah:
a.      Charles Sanders Peirce
Charles mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis (dugaan sementara/ pegangan dasar) itu benar bila bisa diterapkan dan dilaksanakan menurut tujuan kita. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang berjudul Background of American literary thought(1974) menjelaskan bahwa peirce memformulasikan (merumuskan) tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi pragmatisme sebagai berikut :
1) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya tidak lebih daripada kemurnian opini manusia
2) Bahwa apa yang kita namakan “universal “ adalah yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari “community of knowers “ 
3) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal yang nyata bagi masyarakat(komunitas).[3]

b.      William James
Untuk menjelaskan pandangan-pandangan yang dikemukakan James, kita harus mulai dengan teorinya tentang kesadaran, yang sebagian besar dikembangkan secara lengkap di dalam The Principles of Psychology. James percaya bahwa psikologi dan filsafat erat-terkait melalui cara berikut: keduanya perlu menekankan deskripsi tentang pengalaman manusia dan juga tujuan menemukan penjelasan kausal.[4]
Menurut James, pragatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yag benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan yang akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja membawa akibat praktis, misalnya pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran mistik, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan asalkan membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Sedangkan empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Menurut James, ada dua hal kebenaran yang pokok dalam filsafat yaitu Tough Minded dan Tender Minded. Tough Minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empirirs dan tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indera.Sementara, Tender Minded hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang bersifat rasional.
Menurut James, terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan hasil-hasil yang memuaskan maka ide itu bersifat benar. Suatu ide dianggap benar apabila dapat memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat dipercayai tersebut membawa kearah kebaikan.
Disamping itu pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme, sebagai berikut:
a.     Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi spontan, berhenti dan tak dapat di prediksi tetapi dunia benar adanya.
b.   Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide daam proses yang dipakai dalam situasi kehidupan nyata.
c.    Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang menjadi keinginannya untuk percaya pada dunia, sepanjang keyakinannya tidak berlawanan dengan pengalaman praktisny maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d.    Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang dunia tempat kita tinggal didalamnya.[5]

c.       John Dewey
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pemahaman ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang perkembangan pengalaman. Kaum Hegelian ini juga mempengaruhi pandangan Dewey dalam pemahamannya mengenai konsep sejarah dan metode dialog yang dikembangkannya dalam teori-teorinya tentang pendidikan sekolah. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita.[6]
Menurut Dewey, kita hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaanya. Sikap Dewey dapat dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meniliti tiga aspek dari yang kita namakan instrumentalisme, yaitu :
1) Kata temporalisme yang berarti ada gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
2) Kata futurisme, mendorong kita untuk melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.
3) Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh wiliam James.[7]

2.      Vitalisme
Vitalisme adalah suatu doktrin yang mengatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi, tidak bisa saling mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep energi, elan vital, yang menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu jiwa. Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. [8]
Pada fungsinya yang sederhana bisa berupa suatu cairan atau suatu roh. Yang lebih canggih muncul dalam bentuk roh vital menjadi substansi yang memasuki tubuh atau ada pembedaan khas di antara makhluk hidup. Prinsip ini juga bisa merujuk pada Chi/ki, prana. Ki, orgone dari Wilhelm Reich, Animal magnetisme dari Mesmer. Atau Elan vital dalam filsafat Bergson. Penjelasan aristoteles mengenai fenomena biologis seringkali dipikirkan sebagai vitalistik, walau masih problematik. Galen seorang anatomis berpendapat spirit vital diperlukan dalam hidup.
Nicolas Lemery (1645-1715) seorang kimiawan prancis pada tahun 1675 membedakan klasifikasi hewan, tumbuhan dan mineral. Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794) menjadikan satu klasifikasi hewan dan tumbuhan. Tapi masih memakai klasifikasi original.
Awal abad ke-16 dipercaya ada perbedaan antara pembentuk organis dan anorganis, sebuah substansi yang harus diketahui. Johan Jakob Berzelius (1779-1848) tahun 1815 menyatakan organis berbeda dari anorganis, susunan organis terbuat dari pengaruh elan vital sehingga tidak mampu dibuat secara artificial. Pembedaan ini berkhir 1812 ketika kimiawan Friedrich Wohler (1800-1882) menisintesiskan campuran organik urea dari inorganik murni ammonium cyanate.
Dalam istilah filsafat daya hidup yang ada mungkin ada dalam bentuk entelechies di dalam benda hidup yang menjadi sebab pertumbuhan dan perkembangan (Seperti menurut Hans Driesch) atau seperti daya hidup umum seperti elan vital dalam pemikiran Henri Bergson, yang menolak vitalisme yang mempostulasikan entelechies individual.[9]
Aliran Vitalisme ini juga sebuah perbuatan baik menurut aliran ini adalah orang yang kuat, dapat memaksakan dan menekankan kehendaknya agar berlaku dan ditaati oleh orang-orang yang lemah. Manusia hendaknya mempunyai daya hidup atau vitalitas untuk menguasai dunia dan keselamatan manusia tergantung daya hidupnya. Vitalisme juga memandang bahwa kehidupan tidak sepenuhnya dijelaskan secara fisika, kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup. Henry Bergson (1958-1941) menyebutkan Elan Vital. Dikatakan bahwa Elan Vital merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asa hidup ini memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup. Oleh karena itu Vitalisme sering juga dinamakan finalisme.[10]

3.      Analitis
Menganalisis berarti membagi sesuatu menjadi bagian yang terpisah yang saling berkaitan. Filsafat analitis merupakan upaya untuk mengklarifikasi, menggunakan analisis, makna dari kalimat dan konsep. Filsafat analitis merupakan hal yang penting dalam dunia akademis berbahasa inggris sejak awal abad ke 20. Upaya ini dimulai sejak Kant (Immanuel Kant) membagi antara filsafat akademis Anglo-American dan filsafat praktis benua eropa. Filsafat ‘continental’ membuang idealis ala Hegel, mengambil eksistensialis dari Nietzche dan Heidegger, serta memasuki fase yang lebih pasti melalui post-structurialism.
Filsuf analitis melihat filsafat Jerman, Gottlob Frege (1848-1925), sebagai pemikir yang paling berpengaruh sejak Kant. Frege menginginkan logika yang teliti sebagai jantung filsafat. Dia merupakan pengaruh bagi filsafat matematika, logika, dan bahasa. Ia berpikir bahwa dasar dari matematika dapat diturunkan dengan aman melalui logika dan analisis yang teliti tersebut merupakan dasar logika dari kalimat yang dapat membuat kita mampu menentukan kebenaran kalimat tersebut.
Filsuf Inggris raya, Bretrand Russell (1872 – 1970) mengombinasikan pandangan logika Frege dengan pengaruh empirisisme dari David Hume. Russell berpikir bahwa dunia terdiri dari ‘fakta atomis’. Kalimat-kalimat tersebut berhubungan dengan fakta atomis yang disampaikan Russell. Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) mempelajari pemikiran Russel, awal pemikirannya dipengaruhi lingkar Vienna dan membantu membentuk logika positivisme pada tahun 1920 sampai 1930-an.
Bagaimana bentuk dari filsafat analitis dan ‘fakta atomis’ yang dimaksud Russell? Russell berpikir bahwa istilah seperti ‘the average man’ (pria rata-rata) dapat mengarah kepada kebingungan. Sebagaimana kalimat ‘the average woman has 2.6 children’ (wanita rata-rata memiliki 2,6 anak), istilah ‘the average woman’ dapat dipahami sebagai susunan logika. Istilah tersebut bukan merupakan fakta atomis tetapi kalimat matematika yang kompleks yang berkaitan dengan jumlah anak bagi kebanyakan wanita. Russell berpikir bahwa istilah seperti ‘the State’ (negara) dan ‘Public Opinion’ (opini publik) juga merupakan susunan logika dan para filsafat telah salah memperlakukan konsep tersebut sebagai kebenaran yang benar-benar ada.
Wittgenstein, yang kemudian melanjutkan pemikiran Russel, berkontribusi terhadap teori logika atomis. Karyanya berjudul ‘Tractatus Logico-Philosophicus’ diterbitkan pada tahun 1921. Pada Tractatus itu, Wittgenstein memberikan gambaran teori dari makna. Gambaran mungkin merupakan cerminan kenyataan yang ditunjukkan objek dan kemudian menyusun objek tersebut. Wittgenstein berpendapat bahwa kalimat-kalimat, jika mereka bermakna terhadap sesuatu, haruslah merupakan gambaran dari kenyataan. Kalimat terdiri dari nama yang mengacu kepada objek kejadian tertentu di dunia. Sebagaimana Russell, Wittgenstein berpikir bahwa tata permukaan dari pernyataan menyamarkan bentuk logika. Melalui analisis pernyataan kebenaran yang ditunjukkan terdiri dari partikel elementer yang terdapat di dunia dan logika konstan seperti ‘if’, ‘not’, ‘and’, dan ‘or’. Sebuah kalimat, yang tidak dapat digambarkan keadaannya di dunia, sama sekali tidak memiliki makna.
Perkembangan pemikiran filsafat analitis kemudian membentuk Vienna circle atau ‘lingkar Vienna’. Lingkar Vienna terdiri dari sekelompok ilmuwan dan ahli logika yang berpemikiran filosofis. Moritz Schlick (1882 – 1936) merupakan pemimpin resmi dan anggota lainnya termasuk Rudolf Carnap (1891 – 1970), Otto Neurath (1882 – 1945), dan Kurt Gödel (1906 – 1978). Kelompok ini sangat terpengaruh oleh hasil karya Frege dan Russel. Wittgenstein, meskipun bukan anggota, terlibat diskusi dengan Schlick dan Carnap. Kelompok ini aktif pada pertengahan 1920-an. Akan tetapi, gabungan pembunuhan Schlick oleh mahasiswa gila pada 1936 dan pertumbuhan penguasaan pasukan Nazi membuat Lingkar ini terpencar-pencar.
Logika positivisme merupakan hal yang diterapkan oleh Lingkar Vienna yang merupakan pengembangan dari Wittgenstein’s Tractatus. Hanya kalimat yang dapat dibuktikan yang bermakna, sebagaimana Schlick menyampaikan: “Makna dari suatu dalil merupakan metode untuk membuktikan kebenarannya”. Segala hal yang tidak bisa dibuktikan secara empiris tidak bermakna apa-apa. Kalimat seperti tentang Tuhan, etika, seni, dan metafisika, menurut Lingkar Vienna merupakan hal yang tidak masuk diakal secara literal. Penekanan terhadap positivisme merupakan reaksi melawan idealisme romatis yang sangat berpengaruh terhadap filsafat Jerman. Peran filsafat tidak dapat lagi menguraikan kesadaran diri akan jiwa. Filsafat lebih dipandang sebagai hamba ilmu pengetahuan, konten dibuat hanya untuk memperjelas konsep.[11]
4.      Strukturalisme
Strukturalisme merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap. Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada setiap tingkat).[12]

Adapun tokoh-tokoh filsafat Strukturalisme yang akan dibicarakan adalah Levi-Strauss, Jacques Lacan, Rolannd Barthes, Louis Althusser, dan Michel Foucault.
a.               Claude Levi-Strauss 
Claude Levi-Strauss merupakan pemikir Prancis yang erat kaitannya dengan Strukturalisme. Karena melalui karya-karyanya menjadi suatu aliran yang mendapat identitas sendiri. Bahkan sering juga Strauss sebagai “Bapak Strukturalisme Prancis”.
Ia mengibarkanwarna-warni Strukturalismenya pada beberapa judul bukunya: Struktur Elementer Kekerabatan atau  dua volume Antropologi Struktural. Komitmennya dalam Strukturalisme sangat terus terang dan total.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang ia percayai sanggup menjadikan data-data empiris tentang institusi-institusi dalam kekerabatan dan mite-mite lebih dapat dipahami daripada sebelumnya. Pada kenyataannya, Strukturalisme melampaui penjelasan atau penguraian data-data belaka, karena dari data-data tersebut ia mengidentifikasikan sifat dasar spesifik dan universal dari pikiran manusia itu sendiri.
Sistem kekerabatan sebagaimana bahasa juga dikuasai oleh unsur-unsur atau atarun-aturan yang tidak disadari. Struktur simbolik kekerabatan, bahasa dan pertukaran barang menjadi kunci pemahaman tentang kehidupan sosial. Sistem kekerabatan adalah gejala kultural yang didasarkan atas incest, dan hubungan ini bukanlah suatu gejala yang alami.[13]

b.               Jscues Lacan
Jscues Lacan (1901-1981) lahir di Paris dan meraih gelar doktor dalam bidang kedokteran pada tahun 1932. Selain kedokteran, ia juga seorang psikiater. Maka dari itu, pemikirannya disebut Strukturalisme dan Psikoanalisa karena ia ingin membuat psikoanalisa menjadi suatu antropologi otentik dengan mengambi ilmu bahasa sebagai pedoman. Bahasa adalah suatu sistem yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang mempunyai prioritas terhadap subyek yang berbicara, dan manusia tidak merancang sistem itu, tetapi ia takhluk padanya yang memungkinkan ia berbicara.
Hal yang sama berlaku juga untuk ketidaksadaran. Ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi manusia sendiri tidak menguasai struktur ini. Ketidaksadaran adalah semacam logos yang mendahului manusia perseorangan. Usahanya adalah menjelaskan ketidaksadaran manusia dalam cahaya penemuan-penemuan linguistik tentang bahasa. Lacan selalu membahas percakapan psikoanalitis yaitu percakapan antara seorang psikoanalis dengan analisanya atau pasiennya. Dalam percakapan itu, ketidaksadaran tampak sebagai bahasa. Dalam percakapan psikoanalitis subyek tidak berbicara, tetapi subyek dibicarakan. Atau bukan saya yang berbicara, ada yang bicara dalam diri saya.[14]

c.               Roland Barthes (1915-1980 M)
Roland Barthes adalah pemikir yang ikut meramaikan pemikiran kesustraan. Ia adalah petualang dalam perumusan prinsip-prinsip baru untuk memahami kesustraan, dan selalu provokatif menyingkirkan yang dirasakannya sudah usang.
Karya Barthes The Fashion Syistem menjelaskan beberapa aspek pendekatan struktural atau semiotik terhadap analisis gejala sosial. Barthes memobilisasikan semua sumber daya teori Linguistik – khususnya bahasa sebagai suatu sistem perbedaan – untuk dapat mengenali bahasa mode dalam telaahnya tentang mode. Barthes menerapkan metode strukturalis untuk menganalisis perkembangan mode pakaian wanita. Mode pakaian sebagaimana bahasa juga memiliki struktur yang ditandai oleh sistem relasi-relasi dan oposisi-oposisi.[15]

d.             Ferdinand de Saussure (1857-1913)
Ferdinand de Saussure (1857-1913) orang Swiss yang sempat mengajar di Paris dan akhirnya menjadi profesor di Jenewa yang memperkenalkan pembaharuan linguistik dan meletakkan untuk linguistik modern.. 3 distingsi atau perbedaan yaitu signifiant dan signifie, langage, parole, dan langue serta sinkroni dan diakroni.
1)    Signifiant dan Signifie yang berarti tanda. Signifiant @ aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar atau dibaca atau disebut dengan” penanda”. Sedangkan signifie @ aspek mental dari bahasa atau gambaran dari mental, pikiran atau konsep atau disebut dengan “yang ditandai”.
2)  Langage, Parole, dan Langue yang berarti bahasa. Langage @ fenomena bahasa secara umum. Parole @ pemakaian bahasa yang individual. Langue @ bahasa merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu
3)   Sinkroni dan Diakroni. Sinkroni @ peninjauan ahistoris atau yang sama sekali lepas dari perspektif historis. Diakroni @ peninjauan historis.[16]

5.             Louis Althusser (1918-1990 M)
Althusser dikenal dengan sikap anti-humanisme. Althusser menentang                  gagasan bahwa individu itu ada sebelum munculnya kondisi-kondisi sosial. Kemudian dengan menggambarkan masyarakat sebagai suatu kesatuan struktural yang tersusun dari tingkatan-tingkatan otonom yang cara artikulasinya atau efektivitasnya ditentukan oleh ekonomi.
Menurut Louis Althusser manusia dalam pandangan Das Kapital telah tergeser dari pusatntya, manusia merupakan produk sekaligus sebagai dikuasai oleh struktur-struktur sosiso-ekonomi yang berasal dari luar dirinya, manusia bukan subjek otonom.[17]

5.      Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.[18]
Adapun tokoh-tokoh aliran filsafat eksistensialisme adalah sebagai berikut :
a.      Soren Aabye Kiekeegaard
Inti pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan atau apa yang ia anggap kemungkinan.

b.      Friedrich Nietzsche
Menurutnya masuai yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.[19]

c.      Karl Jaspers 
   Memandang filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri. Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi dan transendensi.

d.      Martin Heidegger
Inti pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri, dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.[20]

e.      Jean Paul Sartre
Menekankan pada kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.[21]

6.      FENOMENOLOGI
Istilah fenomenologi seperti dikemukakan Drijarkara (1981 : 119) berasal dari akar kata yang mengandung pengertian sinar cahaya atau sesuatu yang memancar. Akar kata itu kemudian dibentuk menjadi kata kerja yang berarti : tampak, dapat dilihat karena bercahaya. Dari kata itulah kemudian lahir kata fenomenon, fenemenon yang berarti “yang nampak”. Dalam bahasa Indonesia kiranya dapat digunakan istilah “gejala”. Oleh karena itu fenomenologi dapat diartikan sebagai suatu tentang yang tampak. Bertens (1981 : 100) mengemukakan bahwa fenomenologi tidaklah merujuk kepada suatu yang tidak dapat dikenal seperti pada kritisisme Kant. Fenomenologi berkeyakinan bahwa kita dapat melihat “benda yang sebenarnya” dalam fenomenon merujuk kepada “bendanya itu sendiri”.
Sebagai suatu aliran atau gerakan filsafat, fenomenologi menjadi terkenal di Jerman pada seperempat abad pertama dari abad  ke dua puluh, faham ini kemudian menyebar ke Perancis dan Amerika Serikat. Beberapa tokoh yang melahirkan aliran fenomenologi antara lain adalah:

a.      EDMUND HUSSERL (1859-1938)
         Edmund Husserl merupakan tokoh aliran filsafat fenomenologi dan pencetus aliran ini dari bangsa Jerman. Husserl memulai karirnya sebagai seorang ahli matematika, kemudian pindah ke bidang filsafat. Ia beranggapan bahwa filsafat merupakan tugas moral yang suci. Anggapan ini tumbuh ketika ia mencetuskan pendekatan filsafati tentang phenomenologi. Menurut Husserl,  dunia di mana kita hidup. Kita dapat menganggap sepi objek apapun tetapi kita bisa menganggap sepi kesadaran kita. Kajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung tentang dunia tersebut merupakan pusat perhatian fenomenologi.
         Menurut Husserl, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang ada. Benda dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Jadi dalam hal ini fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, karena benda adalah merupakan objek yang langsung dalam bentuknya yang murni.

b.      MARTIN HEIDEGGER (1889 – 1976)
         Martin Heidegger merupakan salah seorang murid Husserl yang memutuskan untuk terus mempelajari filsafat Husserl setelah dia membaca karya llusser. Yang berjudul “logical Investigations”. Martin Heidegger lahir di Baden, Jerman. Ia memperoleh gelar Doktor di bidang filsafat dari universitas Freiburg tempat ia belajar dan menjadi asisten Husserl.
         Menurut Heidgger, benda yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap keseluruhan wujud. Dengan menemukan watak dinamis, manusia dapat diselamatkan dari kekacauan dan frustasi yang mengancamnya seseorang harus hidup secara otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda oleh benda-benda serta urusan hidup sehari-hari. Manuisa harus memuatkan perhatiannya kepada kebenaran yang dapat dia ungkapkan dan hayati dalam kehidupan .

c.       MAURICE MERLEAU-PONTY (1908 – 1961).
         Maurice Merleau-Ponty  lahir di Perancis dan meninggal di negeri itu pada tahun 1961. dasar cara berpikir Maurice adalah ambiguitas; kalau ia berbicara tentang badan, dia berbicara pula tentang roh dan sebaliknya. Ia beranggapan bahwa badan bukanlah hal yang diraba, dilihat atau dipegang. Hal ini adalah menurut anatomi dan filosofi. Badan adalah suatu misteri yang dilihat dan melihat, meraba dan diraba.
         Merleau-Ponty berusaha menemukan kembali aktivitas psikis belakang obyektivasi empiris. Untuk itu ia memakai metode fenomenologis yang diciptkan Husserl. Merleau-Ponty berpendapat bahwa semua aktivitas kognisi (mengenal) muncul dari aktivitas pengamatan, sehingga dia mengatakan bahwa ilmu alam berakar dari kepercayaan terhadap pengamatan. Menurut Merleau, deskripsi fenomenologis memberikan gambaran tentang dunia dalam proses, dan proses itu tidak dapat diramalkan; yang dapat diberi deskripsi adalah hal-hal yang sudah jadi.[22]

C.    Karakteristik Pemikiran Filsafat Kontemporer
Melihat sejarah perkembangan filsafat zaman kontemporer tidak lain adalah mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari sejarah filsafat sebelumnya. Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Karakteristik filsafat di zaman kontemporer ini yaitu :
1.      Membuat deskripsi tentang perkembangan filsafat di zaman kontemporer berarti menggambarkan aplikasi ilmu dan teknologi dalam berbagai sektor kehidupan manusia.
2.      Filsafat pada zaman kontemporer tidak segan-segan melakukan dekonstruksi (perbaikan) dan peruntuhan terhadap teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan baru dalam rekonstruksi ilmu yang mereka bangun.
Di antara ilmu khusus, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tinggi dan banyak dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Secara historis hubungan antara fisika dengan filsafat terlihat dalam dua cara :
1.      Diskusi filosofis mengenai metode fisika dan dalam interaksi antara pandangan substansial tentang fisika misalnya tentang materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu.
2.      Ajaran filsafat tradisional yang menjawab tentang materi, kuasa, ruang dan waktu.
Fisikawan Albert Einstein menyatakan alam itu tidak berhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi, berarti alam semesta itu kekal, dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.
Zaman kontemporer ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih seperti teknologi komunikasi, komputer, satelit komunikasi, internet, dan sebagainya.
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam.
Disamping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan yang lainnya. Sehingga dihasilkannya bidang-bidang ilmu baru.[23]

 
BAB III
PENUTUP

     A. Kesimpulan
Filsafat Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada masa saat ini. Aliran, Aliran yang Berpengaruh dalam filsafat kontemporer yaitu pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis, strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika
Pragmatisme, mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di Amerika. Tokohnya William James dan John Dewey.
Vitalisme, berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Tokohnya Henri Bergson.
Filsafat analitis atau disebut juga filsafat bahasa. Para penganutnya menyibukkan diri denga analisa bahasa dan konsep-konsep. Tokohnya Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Aus
Fenomenologi, adalah aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Tokohnya Max Sch Edmund Husserl .
Eksistensialisme, aliran ini memandang segala gejala denga berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Eksistensi mendahului esensi. Bungkus mendahului isi. Tokohnya adala Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre.
Strukturalisme, pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Mereka menyibukkan diri dengan struktur-struktur tersebut. Tokohnya, Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucault
Melihat sejarah perkembangan filsafat zaman kontemporer tidak lain adalah mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih lanjut dari sejarah filsafat sebelumnya. Yang dimaksud dengan zaman kontemporer adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini. Zaman kontemporer ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih seperti teknologi komunikasi, komputer, satelit komunikasi, internet, dan sebagainya.
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Disamping kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu dengan yang lainnya. Sehingga dihasilkannya bidang-bidang ilmu baru.


DAFTAR PUSTAKA

·         http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html
·         http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
·         http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/vitalisme
·         http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme
·         http://www.bglconline.com/2013/03/filsafat-analitis/
·         http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
·         http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
·         http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html
·         http://immaniez.blogspot.com/2012/06/filsafat-pendidikan-eksistensialisme.html
·         http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/fenomenologi.html
·         http://thepublicadministration.blogspot.com/2010/10/perkembangan-filsafat-di-zaman-modern.html




[1].  http://pakdhekeong.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-kontemporer.html

[2]. http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[3]. http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/

[4]. http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html

[5]. http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[6]. http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html

[7]. http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[8]. http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme

[9]. http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/vitalisme
[10]. http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme

[11]. http://www.bglconline.com/2013/03/filsafat-analitis/
[12]. http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
[13]. http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html

[14]. http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
[15]. http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
[16]. http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/

[17]. http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
[18] http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html

[20]. http://immaniez.blogspot.com/2012/06/filsafat-pendidikan-eksistensialisme.html
[21] http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html

[22] http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/fenomenologi.html
[23] http://thepublicadministration.blogspot.com/2010/10/perkembangan-filsafat-di-zaman-modern.html

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Makalah Filsafat Kontemporer"

Post a Comment

Silahkan komentar dengan baik