BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Manusia tercipta diberi kelebihan diantara makhluk-makhluk lain
yang berada di dunia ini, yakni kemampuan berfikir yang luar biasa melalui akal
pikiran dan budi daya. Dengan akal pikiran manusia berfikir akan kebenaran
serta daya kemampuan untuk tetap surfive. Apabila akal dipergunakan secara
mendalam, fundamental, hakiki dan universal akan lahir apa yang dinamakan
filsafat. Zaman sejarah dimulai sejak manusia dapat mendokumentasikan hasil
pemikian dan kebudayaan atau peradaban, dari sini timbul sebuah metodologi
tentang hasil pemikiran yang biasa dikenal dengan filsafat.
membaca
ulang, transformasi dan rekreasi yang merupakan kita sebagai manusia dari zaman
awal sampai sejarah kita saat ini. Silsilah kita sekarang memungkinkan kita
untuk maju, sehingga dalam mencari tambahan dan cara berpikir yang baru. The
Spesialisasi dalam Filsafat Kontemporer merupakan sebuah ruang istimewa mungkin
untuk mengatasi beberapa perdebatan besar dan masalah kontemporer melalui pikiran
filsuf yang paling berpengaruh pada zaman sekarang.
Zaman Kontemporer dimulai
pada abad ke 20 hingga sekarang. Filsafat kontemporer memiliki sifat yang
sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar.
Sebagian besar filsuf adalah spesialis di bidang khusus, seperti matematika,
fisika, sosiologi, dan ekonomi.
Filsafat Kontemporer Indonesia terlahir dari kritik kolonialisme,
imperialisme dan liberalisasi, dan lahirnya demokratisasi dan humanisme dalam segala aspek kehidupan, dalam bidang
ekonomi, politik, sosial dan budaya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa Pengertian Filsafat Kontemporer
2.
Tokoh Dan Pemikiran Filsafat Kontemporer
3.
Karakteristik Pemikiran Filsafat Kontemporer
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Pengertian
filsafat Kontemporer
Filsafat
adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep
dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai
suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu
secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan
segala hubungan.
Filsafat,
secara etimologi merupakan kata serapan dari Yunani, Philoshopia, yang berarti ‘Philo’ adalah Cinta, sedangkan ‘shopia’
berarti kebijaksanaan atau hikmah. Jadi dapat kita tarik konklusi, cinta pada
kebijaksanaan ilmu pengetahuan itulah filsafat. Namun, ketika kita tilik dari
segi praktisnya, berarti alam pikiran atau alam berfikir, berfilsafat artinya
berfikir secara mendalam dan sungguh-sungguh.
Sedang kata “kontemporer” sendiri mempunyai
korelasi sangat erat dengan “modern”. Dua kata yang tidak mempunyai penggalan
masa secara pasti. “komtemporer” adalah semasa, pada masa yang sama dan
kekinian . Semenatara “modern” adalah kini yang sudah lewat, tapi bersifat
relevansif hingga sekarang. Karena tidak ada kepermanenan dalam era
kontemperer, modern yang telah lewat dari kekinian tidak bisa disebut
kontemporer.
Filsafat Kontemporer juga bisa diartikan
dengan cara seperti itu, yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut
kehidupan pada masa saat ini.[1]
B.
Tokoh Dan
Pemikiran Filsafat Kontemporer
1.
Pragmatisme
Menurut Kamus Ilmiah Populer, Pragmatisme
adalah aliran filsafat yang menekankan pengamatan penyelidikan dengan
eksperimen (tindak percobaan), serta kebenaran yang mempunyai akibat – akibat
yang memuaskan. Sedangkan, definisi Pragmatisme lainnya adalah hal
mempergunakan segala sesuatu secara berguna.
Sedangkan menurut istilah adalah berasal dari
bahasa Yunani “ Pragma” yang berarti perbuatan ( action) atau tindakan
(practice). Isme sendiri berarti ajaran atau paham. Dengan demikian Pragmatisme
itu berarti ajaran yang menekankan bahwa pemikran itu menuruti tindakan.[2]
Aliran ini sangat terkenal di
Amerika Serikat. Pragmatisme mengajarkan bahwa sesuatu hal yang benar adalah
sesuatu yang akibatnya bermanfaat secara praktis. Jadi, pragmatisme memakai
akibat-akibat praktis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Kelompok ini bersikap kritis terhadap sistem-sistem
filsafat sebelumnya seperti bentuk – bentuk aliran materialisme. Beberapa tokoh yang
melahirkan aliran Pragmatisme antara lain adalah:
a.
Charles Sanders
Peirce
Charles mempunyai gagasan bahwa suatu hipotesis
(dugaan sementara/ pegangan dasar) itu benar bila bisa diterapkan dan
dilaksanakan menurut tujuan kita. Horton dan Edwards di dalam sebuah buku yang
berjudul Background of American literary thought(1974) menjelaskan bahwa peirce
memformulasikan (merumuskan) tiga prinsip-prinsip lain yang menjadi dasar bagi
pragmatisme sebagai berikut :
1) Bahwa kebenaran ilmu pengetahuan sebenarnya
tidak lebih daripada kemurnian opini manusia
2) Bahwa apa yang kita namakan “universal “ adalah
yang pada akhirnya setuju dan menerima keyakinan dari “community of knowers “
3) Bahwa filsafat dan matematika harus di buat
lebih praktis dengan membuktikan bahwa problem-problem dan
kesimpulan-kesimpulan yang terdapat dalam filsafat dan matematika merupakan hal
yang nyata bagi masyarakat(komunitas).[3]
b.
William James
Untuk menjelaskan pandangan-pandangan yang dikemukakan
James, kita harus mulai dengan teorinya tentang kesadaran, yang sebagian besar
dikembangkan secara lengkap di dalam The Principles of Psychology. James
percaya bahwa psikologi dan filsafat erat-terkait melalui cara berikut:
keduanya perlu menekankan deskripsi tentang pengalaman manusia dan juga tujuan
menemukan penjelasan kausal.[4]
Menurut James,
pragatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yag benar ialah apa yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan yang akibat-akibatnya
yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu
asal saja membawa akibat praktis, misalnya pengalaman-pengalaman pribadi, kebenaran
mistik, semuanya bisa diterima sebagai kebenaran, dan dasar tindakan asalkan
membawa akibat yang praktis yang bermanfaat.
Sedangkan
empirisme radikal adalah suatu aliran yang harus tidak menerima suatu unsur
alam bentuk apa pun yang tidak dialami secara langsung.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Dalam bukunya The Meaning of The Truth, James mengemukakan tidak ada kebenaran mutlak, yang berlaku umum, yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal, melainkan yang ada hanya kebenaran-kebenaran ‘plural’. Yang dimaksud kebenaran-kebenaran plural adalah apa yang benar dalam pengalaman-pengalaman khusus yang setiap kali dapat diubah oleh pengalaman berikutnya.
Menurut James,
ada dua hal kebenaran yang pokok dalam filsafat yaitu Tough Minded dan Tender Minded.
Tough Minded dalam mencari kebenaran hanya lewat pendekatan empirirs dan
tergantung pada fakta-fakta yang dapat ditangkap indera.Sementara, Tender
Minded hanya mengakui kebenaran yang sifatnya berada dalam ide dan yang
bersifat rasional.
Menurut James,
terdapat hubungan yang erat antara konsep pragmatisme mengenai kebenaran dan
sumber kebaikan. Selama ide itu bekerja dan menghasilkan hasil-hasil yang
memuaskan maka ide itu bersifat benar. Suatu ide dianggap benar apabila dapat
memberikan keuntungan kepada manusia dan yang dapat dipercayai tersebut membawa
kearah kebaikan.
Disamping itu
pula, William James mengajukan prinsip-prinsip dasar terhadap pragmatisme,
sebagai berikut:
a. Bahwa dunia tidak hanya terlihat menjadi
spontan, berhenti dan tak dapat di prediksi tetapi dunia benar adanya.
b. Bahwa kebenaran tidaklah melekat dalam ide-ide
tetapi sesuatu yang terjadi pada ide-ide daam proses yang dipakai dalam situasi
kehidupan nyata.
c. Bahwa manusia bebas untuk meyakini apa yang
menjadi keinginannya untuk percaya pada dunia, sepanjang keyakinannya tidak
berlawanan dengan pengalaman praktisny maupun penguasaan ilmu pengetahuannya.
d. Bahwa nilai akhir kebenaran tidak merupakan
satu titik ketentuan yang absolut, tetapi semata-mata terletak dalam
kekuasaannya mengarahkan kita kepada kebenaran-kebenaran yang lain tentang
dunia tempat kita tinggal didalamnya.[5]
c.
John Dewey
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah
pengalaman. Pemahaman ini dipengaruhi oleh pemahaman kaum Hegelianisme tentang
perkembangan pengalaman. Kaum Hegelian ini juga mempengaruhi pandangan Dewey
dalam pemahamannya mengenai konsep sejarah dan metode dialog yang
dikembangkannya dalam teori-teorinya tentang pendidikan sekolah. Bagi Dewey,
pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu
kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang
bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas
sistem yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari
pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan
segera dan kita dihadapkan dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada
dunia sekitarnya, dan gerak itu berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia
sekitar atau dalam dunia kita.[6]
Menurut Dewey,
kita hidup dalam dunia yang belum selesai penciptaanya. Sikap Dewey dapat
dipahami dengan sebaik-baiknya dengan meniliti tiga aspek dari yang kita
namakan instrumentalisme, yaitu :
1) Kata temporalisme yang berarti ada
gerak dan kemajuan nyata dalam waktu.
2) Kata futurisme, mendorong kita untuk
melihat hari esok dan tidak pada hari kemarin.
3) Ketiga, milionarisme, berarti bahwa dunia dapat
dibuat lebih baik dengan tenaga kita. Pandangan ini juga dianut oleh wiliam
James.[7]
2.
Vitalisme
Vitalisme adalah suatu doktrin yang mengatakan bahwa suatu kehidupan terletak di luar dunia materi dan karenanya kedua konsep ini, kehidupan dan materi,
tidak bisa saling mengintervensi. Dimana doktrin ini menghadirkan suatu konsep
energi, elan vital, yang
menyokong suatu kehidupan dan energi ini bisa disamakan dengan keberadaan suatu
jiwa. Vitalisme berpandangan
bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang
berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap
perkembangan ilmu teknologi serta industrialisme, di mana segala sesuatu dapat
dianalisa secara matematis. [8]
Pada fungsinya yang sederhana bisa berupa suatu
cairan atau suatu roh. Yang lebih canggih muncul dalam bentuk roh vital menjadi
substansi yang memasuki tubuh atau ada pembedaan khas di antara makhluk hidup.
Prinsip ini juga bisa merujuk pada Chi/ki, prana. Ki, orgone dari Wilhelm
Reich, Animal magnetisme dari Mesmer. Atau Elan vital dalam filsafat Bergson.
Penjelasan aristoteles mengenai fenomena biologis seringkali dipikirkan sebagai
vitalistik, walau masih problematik. Galen seorang anatomis berpendapat spirit
vital diperlukan dalam hidup.
Nicolas Lemery (1645-1715) seorang kimiawan
prancis pada tahun 1675 membedakan klasifikasi hewan, tumbuhan dan mineral.
Antoine Laurent Lavoisier (1743-1794) menjadikan satu klasifikasi hewan dan
tumbuhan. Tapi masih memakai klasifikasi original.
Awal abad ke-16 dipercaya ada perbedaan antara
pembentuk organis dan anorganis, sebuah substansi yang harus diketahui. Johan
Jakob Berzelius (1779-1848) tahun 1815 menyatakan organis berbeda dari
anorganis, susunan organis terbuat dari pengaruh elan vital sehingga tidak
mampu dibuat secara artificial. Pembedaan ini berkhir 1812 ketika kimiawan
Friedrich Wohler (1800-1882) menisintesiskan campuran organik urea dari
inorganik murni ammonium cyanate.
Dalam istilah
filsafat daya hidup yang ada mungkin ada dalam bentuk entelechies di dalam
benda hidup yang menjadi sebab pertumbuhan dan perkembangan (Seperti menurut
Hans Driesch) atau seperti daya hidup umum seperti elan vital dalam pemikiran Henri Bergson, yang menolak vitalisme
yang mempostulasikan entelechies individual.[9]
Aliran Vitalisme ini juga sebuah perbuatan baik menurut aliran ini adalah
orang yang kuat, dapat memaksakan dan menekankan kehendaknya agar berlaku dan
ditaati oleh orang-orang yang lemah. Manusia hendaknya mempunyai daya hidup
atau vitalitas untuk menguasai dunia dan keselamatan manusia tergantung daya
hidupnya. Vitalisme juga memandang bahwa kehidupan tidak sepenuhnya dijelaskan
secara fisika, kimiawi, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup. Henry
Bergson (1958-1941) menyebutkan Elan Vital. Dikatakan bahwa Elan Vital
merupakan sumber dari sebab kerja dan perkembangan dalam alam. Asa hidup ini
memimpin dan mengatur gejala hidup dan menyesuaikannya dengan tujuan hidup.
Oleh karena itu Vitalisme sering juga dinamakan finalisme.[10]
3.
Analitis
Menganalisis berarti membagi sesuatu menjadi
bagian yang terpisah yang saling berkaitan. Filsafat analitis merupakan upaya
untuk mengklarifikasi, menggunakan analisis, makna dari kalimat dan konsep. Filsafat
analitis merupakan hal yang penting dalam dunia akademis berbahasa inggris
sejak awal abad ke 20. Upaya ini dimulai sejak Kant (Immanuel Kant) membagi
antara filsafat akademis Anglo-American dan filsafat praktis benua eropa.
Filsafat ‘continental’ membuang idealis ala Hegel, mengambil eksistensialis
dari Nietzche dan Heidegger, serta memasuki fase yang lebih pasti melalui post-structurialism.
Filsuf analitis melihat filsafat Jerman,
Gottlob Frege (1848-1925), sebagai pemikir yang paling berpengaruh sejak Kant.
Frege menginginkan logika yang teliti sebagai jantung filsafat. Dia merupakan
pengaruh bagi filsafat matematika, logika, dan bahasa. Ia berpikir bahwa dasar
dari matematika dapat diturunkan dengan aman melalui logika dan analisis yang
teliti tersebut merupakan dasar logika dari kalimat yang dapat membuat kita
mampu menentukan kebenaran kalimat tersebut.
Filsuf Inggris raya, Bretrand Russell (1872 –
1970) mengombinasikan pandangan logika Frege dengan pengaruh empirisisme dari
David Hume. Russell berpikir bahwa dunia terdiri dari ‘fakta atomis’.
Kalimat-kalimat tersebut berhubungan dengan fakta atomis yang disampaikan
Russell. Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) mempelajari pemikiran Russel, awal
pemikirannya dipengaruhi lingkar Vienna dan membantu membentuk logika
positivisme pada tahun 1920 sampai 1930-an.
Bagaimana bentuk dari filsafat analitis dan
‘fakta atomis’ yang dimaksud Russell? Russell berpikir bahwa istilah seperti
‘the average man’ (pria rata-rata) dapat mengarah kepada kebingungan. Sebagaimana
kalimat ‘the average woman has 2.6 children’ (wanita rata-rata memiliki 2,6
anak), istilah ‘the average woman’ dapat dipahami sebagai susunan logika.
Istilah tersebut bukan merupakan fakta atomis tetapi kalimat matematika yang
kompleks yang berkaitan dengan jumlah anak bagi kebanyakan wanita. Russell
berpikir bahwa istilah seperti ‘the State’ (negara) dan ‘Public Opinion’ (opini
publik) juga merupakan susunan logika dan para filsafat telah salah
memperlakukan konsep tersebut sebagai kebenaran yang benar-benar ada.
Wittgenstein, yang kemudian melanjutkan
pemikiran Russel, berkontribusi terhadap teori logika atomis. Karyanya berjudul
‘Tractatus Logico-Philosophicus’ diterbitkan pada tahun 1921. Pada Tractatus
itu, Wittgenstein memberikan gambaran teori dari makna. Gambaran mungkin
merupakan cerminan kenyataan yang ditunjukkan objek dan kemudian menyusun objek
tersebut. Wittgenstein berpendapat bahwa kalimat-kalimat, jika mereka bermakna
terhadap sesuatu, haruslah merupakan gambaran dari kenyataan. Kalimat terdiri
dari nama yang mengacu kepada objek kejadian tertentu di dunia. Sebagaimana
Russell, Wittgenstein berpikir bahwa tata permukaan dari pernyataan menyamarkan
bentuk logika. Melalui analisis pernyataan kebenaran yang ditunjukkan terdiri
dari partikel elementer yang terdapat di dunia dan logika konstan seperti ‘if’,
‘not’, ‘and’, dan ‘or’. Sebuah kalimat, yang tidak dapat digambarkan keadaannya
di dunia, sama sekali tidak memiliki makna.
Perkembangan pemikiran filsafat analitis
kemudian membentuk Vienna circle atau ‘lingkar Vienna’. Lingkar Vienna
terdiri dari sekelompok ilmuwan dan ahli logika yang berpemikiran filosofis.
Moritz Schlick (1882 – 1936) merupakan pemimpin resmi dan anggota lainnya
termasuk Rudolf Carnap (1891 – 1970), Otto Neurath (1882 – 1945), dan Kurt
Gödel (1906 – 1978). Kelompok ini sangat terpengaruh oleh hasil karya Frege dan
Russel. Wittgenstein, meskipun bukan anggota, terlibat diskusi dengan Schlick
dan Carnap. Kelompok ini aktif pada pertengahan 1920-an. Akan tetapi, gabungan pembunuhan
Schlick oleh mahasiswa gila pada 1936 dan pertumbuhan penguasaan pasukan Nazi
membuat Lingkar ini terpencar-pencar.
Logika
positivisme merupakan hal yang diterapkan oleh Lingkar Vienna yang merupakan
pengembangan dari Wittgenstein’s Tractatus. Hanya kalimat yang dapat dibuktikan
yang bermakna, sebagaimana Schlick menyampaikan: “Makna dari suatu dalil
merupakan metode untuk membuktikan kebenarannya”. Segala hal yang tidak bisa
dibuktikan secara empiris tidak bermakna apa-apa. Kalimat seperti tentang
Tuhan, etika, seni, dan metafisika, menurut Lingkar Vienna merupakan hal yang
tidak masuk diakal secara literal. Penekanan terhadap positivisme merupakan
reaksi melawan idealisme romatis yang sangat berpengaruh terhadap filsafat
Jerman. Peran filsafat tidak dapat lagi menguraikan kesadaran diri akan jiwa.
Filsafat lebih dipandang sebagai hamba ilmu pengetahuan, konten dibuat hanya
untuk memperjelas konsep.[11]
4.
Strukturalisme
Strukturalisme
merupakan suatu gerakan pemikiran filsafat yang mempunyai pokok pikiran bahwa
semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai suatu struktur yang sama dan tetap.
Ciri khas strukturalisme ialah pemusatan pada deskripsi keadaan aktual obyek
melalui penyelidikan, penyingkapan sifat-sifat instrinsiknya yang tidak terikat
oleh waktu dan penetapan hubungan antara fakta atau unsur-unsur sistem tersebut
melalui pendidikan. Strukturalisme menyingkapkan dan melukiskan struktur inti
dari suatu obyek (hirarkinya, kaitan timbal balik antara unsur-unsur pada
setiap tingkat).[12]
Adapun tokoh-tokoh filsafat Strukturalisme yang akan dibicarakan adalah
Levi-Strauss, Jacques Lacan, Rolannd Barthes, Louis Althusser, dan Michel
Foucault.
a.
Claude Levi-Strauss
Claude Levi-Strauss merupakan pemikir Prancis yang
erat kaitannya dengan Strukturalisme. Karena melalui karya-karyanya menjadi
suatu aliran yang mendapat identitas sendiri. Bahkan sering juga Strauss
sebagai “Bapak Strukturalisme Prancis”.
Ia mengibarkanwarna-warni Strukturalismenya pada
beberapa judul bukunya: Struktur Elementer Kekerabatan atau dua volume Antropologi Struktural.
Komitmennya dalam Strukturalisme sangat terus terang dan total.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang ia percayai
sanggup menjadikan data-data empiris tentang institusi-institusi dalam
kekerabatan dan mite-mite lebih dapat dipahami daripada sebelumnya. Pada
kenyataannya, Strukturalisme melampaui penjelasan atau penguraian data-data
belaka, karena dari data-data tersebut ia mengidentifikasikan sifat dasar
spesifik dan universal dari pikiran manusia itu sendiri.
Sistem kekerabatan sebagaimana bahasa juga dikuasai oleh unsur-unsur atau
atarun-aturan yang tidak disadari. Struktur simbolik kekerabatan, bahasa dan
pertukaran barang menjadi kunci pemahaman tentang kehidupan sosial. Sistem
kekerabatan adalah gejala kultural yang didasarkan atas incest, dan hubungan
ini bukanlah suatu gejala yang alami.[13]
b.
Jscues Lacan
Jscues Lacan (1901-1981) lahir di Paris dan
meraih gelar doktor dalam bidang kedokteran pada tahun 1932. Selain kedokteran,
ia juga seorang psikiater. Maka dari itu, pemikirannya disebut Strukturalisme
dan Psikoanalisa karena ia ingin membuat psikoanalisa menjadi suatu antropologi
otentik dengan mengambi ilmu bahasa sebagai pedoman. Bahasa adalah suatu sistem
yang terdiri dari relasi-relasi dan oposisi-oposisi yang mempunyai prioritas
terhadap subyek yang berbicara, dan manusia tidak merancang sistem itu, tetapi
ia takhluk padanya yang memungkinkan ia berbicara.
Hal yang sama berlaku juga untuk
ketidaksadaran. Ketidaksadaran merupakan suatu struktur, tetapi manusia sendiri
tidak menguasai struktur ini. Ketidaksadaran adalah semacam logos yang
mendahului manusia perseorangan. Usahanya adalah menjelaskan ketidaksadaran
manusia dalam cahaya penemuan-penemuan linguistik tentang bahasa. Lacan selalu
membahas percakapan psikoanalitis yaitu percakapan antara seorang psikoanalis
dengan analisanya atau pasiennya. Dalam percakapan itu, ketidaksadaran tampak
sebagai bahasa. Dalam percakapan psikoanalitis subyek tidak berbicara, tetapi
subyek dibicarakan. Atau bukan saya yang berbicara, ada yang bicara dalam diri
saya.[14]
c.
Roland Barthes
(1915-1980 M)
Roland Barthes
adalah pemikir yang ikut meramaikan pemikiran kesustraan. Ia adalah petualang
dalam perumusan prinsip-prinsip baru untuk memahami kesustraan, dan selalu
provokatif menyingkirkan yang dirasakannya sudah usang.
Karya Barthes The Fashion Syistem menjelaskan beberapa
aspek pendekatan struktural atau semiotik terhadap analisis gejala sosial. Barthes
memobilisasikan semua sumber daya teori Linguistik – khususnya bahasa sebagai
suatu sistem perbedaan – untuk dapat mengenali bahasa mode dalam telaahnya
tentang mode. Barthes menerapkan metode strukturalis untuk menganalisis
perkembangan mode pakaian wanita. Mode pakaian sebagaimana bahasa juga memiliki
struktur yang ditandai oleh sistem relasi-relasi dan oposisi-oposisi.[15]
d. Ferdinand de
Saussure (1857-1913)
Ferdinand de Saussure (1857-1913) orang Swiss
yang sempat mengajar di Paris dan akhirnya menjadi profesor di Jenewa yang
memperkenalkan pembaharuan linguistik dan meletakkan untuk linguistik modern..
3 distingsi atau perbedaan yaitu signifiant dan signifie, langage, parole, dan
langue serta sinkroni dan diakroni.
1)
Signifiant dan Signifie yang berarti tanda.
Signifiant @ aspek material dari bahasa, apa yang dikatakan atau didengar atau
dibaca atau disebut dengan” penanda”. Sedangkan signifie @ aspek mental dari
bahasa atau gambaran dari mental, pikiran atau konsep atau disebut dengan “yang
ditandai”.
2)
Langage, Parole, dan Langue yang berarti
bahasa. Langage @ fenomena bahasa secara umum. Parole @ pemakaian bahasa yang
individual. Langue @ bahasa merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa
tertentu
3)
Sinkroni dan Diakroni. Sinkroni @ peninjauan
ahistoris atau yang sama sekali lepas dari perspektif historis. Diakroni @
peninjauan historis.[16]
5.
Louis Althusser
(1918-1990 M)
Althusser
dikenal dengan sikap anti-humanisme. Althusser menentang gagasan bahwa individu itu
ada sebelum munculnya kondisi-kondisi sosial. Kemudian dengan menggambarkan
masyarakat sebagai suatu kesatuan struktural yang tersusun dari
tingkatan-tingkatan otonom yang cara artikulasinya atau efektivitasnya
ditentukan oleh ekonomi.
Menurut Louis
Althusser manusia dalam pandangan Das
Kapital telah tergeser dari pusatntya, manusia merupakan produk sekaligus
sebagai dikuasai oleh struktur-struktur sosiso-ekonomi yang berasal dari luar
dirinya, manusia bukan subjek otonom.[17]
5.
Eksistensialisme
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang
bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam
mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui
mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar
bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas
menentukan sesuatu yang menurutnya benar.[18]
Adapun
tokoh-tokoh aliran filsafat eksistensialisme adalah sebagai berikut :
a.
Soren Aabye Kiekeegaard
Inti
pemikirannya adalah eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang statis tetapi
senantiasa menjadi, manusia selalu bergerak dari kemungkinan menuju suatu
kenyataan, dari cita-cita menuju kenyataan hidup saat ini. Jadi ditekankan
harus ada keberanian dari manusia untuk mewujudkan apa yang ia cita-citakan
atau apa yang ia anggap kemungkinan.
b.
Friedrich
Nietzsche
Menurutnya
masuai yang berkesistensi adalah manusia yang mempunyai keinginan untuk
berkuasa (will to power), dan untuk berkuasa manusia harus menjadi
manusia super (uebermensh) yang mempunyai mental majikan bukan mental
budak. Dan kemampuan ini hanya dapat dicapai dengan penderitaan karena dengan
menderita orang akan berfikir lebih aktif dan akan menemukan dirinya sendiri.[19]
c.
Karl Jaspers
Memandang
filsafat bertujuan mengembalikan manusia kepada dirinya sendiri.
Eksistensialismenya ditandai dengan pemikiran yang menggunakan semua
pengetahuan obyektif serta mengatasi pengetahuan obyektif itu, sehingga manusia
sadar akan dirinya sendiri. Ada dua fokus pemikiran Jasper, yaitu eksistensi
dan transendensi.
d.
Martin
Heidegger
Inti
pemikirannya adalah keberadaan manusia diantara keberadaan yang lain, segala
sesuatu yang berada diluar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri,
dan benda-benda yang ada diluar manusia baru mempunyai makna apabila dikaitkan
dengan manusia karena itu benda-benda yang berada diluar itu selalu digunakan
manusia pada setiap tindakan dan tujuan mereka.[20]
e.
Jean Paul
Sartre
Menekankan pada
kebebasan manusia, manusia setelah diciptakan mempunyai kebebasan untuk
menetukan dan mengatur dirinya. Konsep manusia yang bereksistensi adalah
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar dan bebas bagi diri sendiri.[21]
6.
FENOMENOLOGI
Istilah fenomenologi
seperti dikemukakan Drijarkara (1981 : 119) berasal dari akar kata yang
mengandung pengertian sinar cahaya atau sesuatu yang memancar. Akar kata itu
kemudian dibentuk menjadi kata kerja yang berarti : tampak, dapat dilihat
karena bercahaya. Dari kata itulah kemudian lahir kata fenomenon, fenemenon
yang berarti “yang nampak”. Dalam bahasa Indonesia kiranya dapat digunakan
istilah “gejala”. Oleh karena itu fenomenologi dapat diartikan sebagai suatu
tentang yang tampak. Bertens (1981 : 100) mengemukakan bahwa fenomenologi
tidaklah merujuk kepada suatu yang tidak dapat dikenal seperti pada kritisisme
Kant. Fenomenologi berkeyakinan bahwa kita dapat melihat “benda yang
sebenarnya” dalam fenomenon merujuk kepada “bendanya itu sendiri”.
Sebagai suatu aliran atau gerakan filsafat, fenomenologi menjadi terkenal
di Jerman pada seperempat abad pertama dari abad ke dua puluh, faham ini
kemudian menyebar ke Perancis dan Amerika Serikat. Beberapa tokoh yang
melahirkan aliran fenomenologi antara lain adalah:
a.
EDMUND HUSSERL (1859-1938)
Edmund Husserl merupakan
tokoh aliran filsafat fenomenologi dan pencetus aliran ini dari bangsa Jerman.
Husserl memulai karirnya sebagai seorang ahli matematika, kemudian pindah ke
bidang filsafat. Ia beranggapan bahwa filsafat merupakan tugas moral yang suci.
Anggapan ini tumbuh ketika ia mencetuskan pendekatan filsafati tentang
phenomenologi. Menurut Husserl, dunia di mana kita hidup. Kita dapat
menganggap sepi objek apapun tetapi kita bisa menganggap sepi kesadaran kita.
Kajian tentang dunia yang kita hayati serta pengalaman kita yang langsung
tentang dunia tersebut merupakan pusat perhatian fenomenologi.
Menurut Husserl,
fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang apa yang
ada. Benda dapat dilukiskan menurut kesadaran di mana ia ditemukan. Jadi dalam
hal ini fenomenologi dijelaskan sebagai kembali kepada benda, karena benda
adalah merupakan objek yang langsung dalam bentuknya yang murni.
b.
MARTIN HEIDEGGER (1889 – 1976)
Martin Heidegger merupakan
salah seorang murid Husserl yang memutuskan untuk terus mempelajari filsafat
Husserl setelah dia membaca karya llusser. Yang berjudul “logical
Investigations”. Martin Heidegger lahir di Baden, Jerman. Ia memperoleh gelar
Doktor di bidang filsafat dari universitas Freiburg tempat ia belajar dan
menjadi asisten Husserl.
Menurut Heidgger, benda
yang konkrit harus ditingkatkan, sehingga manusia itu terbuka terhadap
keseluruhan wujud. Dengan menemukan watak dinamis, manusia dapat diselamatkan
dari kekacauan dan frustasi yang mengancamnya seseorang harus hidup secara
otentik sebagai suatu anggota dari kelompok yang hanya tergoda oleh benda-benda
serta urusan hidup sehari-hari. Manuisa harus memuatkan perhatiannya kepada
kebenaran yang dapat dia ungkapkan dan hayati dalam kehidupan .
c.
MAURICE MERLEAU-PONTY (1908 – 1961).
Maurice
Merleau-Ponty lahir di Perancis dan meninggal di negeri itu pada tahun
1961. dasar cara berpikir Maurice adalah ambiguitas; kalau ia berbicara tentang
badan, dia berbicara pula tentang roh dan sebaliknya. Ia beranggapan bahwa
badan bukanlah hal yang diraba, dilihat atau dipegang. Hal ini adalah menurut
anatomi dan filosofi. Badan adalah suatu misteri yang dilihat dan melihat,
meraba dan diraba.
Merleau-Ponty berusaha menemukan
kembali aktivitas psikis belakang obyektivasi empiris. Untuk itu ia memakai
metode fenomenologis yang diciptkan Husserl. Merleau-Ponty berpendapat bahwa
semua aktivitas kognisi (mengenal) muncul dari aktivitas pengamatan, sehingga
dia mengatakan bahwa ilmu alam berakar dari kepercayaan terhadap pengamatan.
Menurut Merleau, deskripsi fenomenologis memberikan gambaran tentang dunia
dalam proses, dan proses itu tidak dapat diramalkan; yang dapat diberi
deskripsi adalah hal-hal yang sudah jadi.[22]
C.
Karakteristik
Pemikiran Filsafat Kontemporer
Melihat sejarah
perkembangan filsafat zaman kontemporer tidak lain adalah mengamati pemanfaatan
dan pengembangan lebih lanjut dari sejarah filsafat sebelumnya. Yang dimaksud
dengan zaman kontemporer adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani
hingga saat sekarang ini.
Karakteristik
filsafat di zaman kontemporer ini yaitu :
1.
Membuat deskripsi tentang perkembangan filsafat
di zaman kontemporer berarti menggambarkan aplikasi ilmu dan teknologi dalam
berbagai sektor kehidupan manusia.
2.
Filsafat pada zaman kontemporer tidak
segan-segan melakukan dekonstruksi (perbaikan) dan peruntuhan terhadap
teori-teori ilmu yang pernah ada untuk kemudian menyodorkan pandangan-pandangan
baru dalam rekonstruksi ilmu yang mereka bangun.
Di antara ilmu
khusus, bidang fisika menempati kedudukan yang paling tinggi dan banyak
dibicarakan oleh para filsuf. Menurut Trout, fisika dipandang sebagai dasar
ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang
membentuk alam semesta. Secara historis hubungan antara fisika dengan filsafat
terlihat dalam dua cara :
1.
Diskusi filosofis mengenai metode fisika dan
dalam interaksi antara pandangan substansial tentang fisika misalnya tentang
materi, kuasa, konsep ruang, dan waktu.
2.
Ajaran filsafat tradisional yang menjawab
tentang materi, kuasa, ruang dan waktu.
Fisikawan
Albert Einstein menyatakan alam itu tidak berhingga besarnya dan tidak
terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis
dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi, berarti alam
semesta itu kekal, dengan kata lain tidak mengakui adanya penciptaan alam.
Zaman
kontemporer ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih
seperti teknologi komunikasi, komputer, satelit komunikasi, internet, dan
sebagainya.
Bidang ilmu
lain juga mengalami kemajuan pesat, sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang
semakin tajam. Ilmuwan kontemporer mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara
mendalam.
Disamping
kecenderungan ke arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara
bidang ilmu satu dengan yang lainnya. Sehingga dihasilkannya bidang-bidang ilmu
baru.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Filsafat
Kontemporer yaitu cara pandang dan berpikir mendalam menyangkut kehidupan pada
masa saat ini. Aliran, Aliran yang Berpengaruh dalam filsafat kontemporer yaitu
pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis,
strukturalisme, postmodernisme, dan semiotika
Pragmatisme, mengajarkan
bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfaat secara praktis.
Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Populer di Amerika.
Tokohnya William James dan John Dewey.
Vitalisme, berpandangan
bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang
berbeda dengan daya-daya fisik. Tokohnya Henri Bergson.
Filsafat analitis atau disebut juga filsafat bahasa. Para penganutnya menyibukkan
diri denga analisa bahasa dan konsep-konsep. Tokohnya Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John
Langshaw Aus
Fenomenologi, adalah aliran yang
membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Tokohnya Max Sch
Edmund Husserl .
Eksistensialisme, aliran ini memandang
segala gejala denga berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada
di dunia. Eksistensi mendahului esensi. Bungkus mendahului isi. Tokohnya adala
Martin Heidegger dan Jean Paul Sartre.
Strukturalisme, pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki
struktur yang sama dan tetap. Mereka menyibukkan diri dengan struktur-struktur
tersebut. Tokohnya, Levi Strauss, Jacques Lacan,
dan Michel Foucault
Melihat sejarah perkembangan filsafat zaman
kontemporer tidak lain adalah mengamati pemanfaatan dan pengembangan lebih
lanjut dari sejarah filsafat sebelumnya. Yang dimaksud dengan zaman kontemporer
adalah era tahun-tahun terakhir yang kita jalani hingga saat sekarang ini.
Zaman kontemporer ini juga ditandai dengan penemuan berbagai teknologi canggih
seperti teknologi komunikasi, komputer, satelit komunikasi, internet, dan
sebagainya.
Bidang ilmu lain juga mengalami kemajuan pesat,
sehingga terjadi spesialisasi ilmu yang semakin tajam. Ilmuwan kontemporer
mengetahui hal yang sedikit, tetapi secara mendalam. Disamping kecenderungan ke
arah spesialisasi, kecenderungan lain adalah sintesis antara bidang ilmu satu
dengan yang lainnya. Sehingga dihasilkannya bidang-bidang ilmu baru.
DAFTAR PUSTAKA
·
http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html
·
http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
·
http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/vitalisme
·
http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme
·
http://www.bglconline.com/2013/03/filsafat-analitis/
·
http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
·
http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
·
http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html
·
http://immaniez.blogspot.com/2012/06/filsafat-pendidikan-eksistensialisme.html
·
http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/fenomenologi.html
·
http://thepublicadministration.blogspot.com/2010/10/perkembangan-filsafat-di-zaman-modern.html
[1].
http://pakdhekeong.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-kontemporer.html
[2].
http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[3].
http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[4].
http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html
[5].
http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[6].
http://sandrataufikhidayat.blogspot.com/2012/03/pemikiran-filsafat-pragmatisme-charles.html
[7].
http://penadarisma.wordpress.com/makalah/pragmatisme-dalam-aliran-filsafat/
[8].
http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme
[9].
http://www.filsafatilmu.com/artikel/teori/vitalisme
[10].
http://id.wikipedia.org/wiki/Vitalisme
[11].
http://www.bglconline.com/2013/03/filsafat-analitis/
[12]. http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
[13].
http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
[14].
http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
[15].
http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
[16].
http://firdhanramadhansmart.wordpress.com/2011/05/04/filsafat-strukturalisme/
[17].
http://amry90.blogspot.com/2013/06/filsafat-strukturalisme.html
[18]
http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html
[20].
http://immaniez.blogspot.com/2012/06/filsafat-pendidikan-eksistensialisme.html
[21]
http://art-batak.blogspot.com/2010/11/filsafat-eksistensialisme-dan-tokoh.html
[22]
http://psikologibebas.blogspot.com/2012/09/fenomenologi.html
[23]
http://thepublicadministration.blogspot.com/2010/10/perkembangan-filsafat-di-zaman-modern.html
0 Response to "Makalah Filsafat Kontemporer"
Post a Comment
Silahkan komentar dengan baik