BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Perkembangan
masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah
memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern
dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan,
terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat
informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu
bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi
peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.
Kehidupan
modern selain berdimensi positif juga berdemensi negatif. Dimensi positif di
antaranya semakin berkembangnya teknologi dalam berbagai bidang, komunikasi,
perhubungan, antariksa, kedokteran dan sebagainya. Sebaliknya dimensi negatifnya
juga berkembang pesat. Merosotnya nilai-nilai humanisme, semakin longgarnya
nilai-nilai moral, kehidupan masyarakat yang semakin “individualistis”,
mengejar kehidupan dan kemewahan duniawi dengan segala cara dan sebagainya.
Dampak negatif kehidupan modern, berpengaruh sangat besar dalam kehidupan
keluarga. Karena longgarnya nilai-nilai moral, akhlak dan agama di lingkungan
keluarga, maka orang tua sebagai figur panutan anak-anaknya hilang
kredibilitasnya, sehingga dalam keluarga tidak ada lagi yang patut menjadi
figur panutan.
Pada
masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting
dan bahkan menentukan corak kehidupan. Pengguna teknologi seperti komputer,
faximile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari
lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat
internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi
satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia,
tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan,
bahkan secara visual.
Itulah
gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus
menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia
pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana
prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang
harus dijawab oleh dunia pendidikan, termasuk di dalamnya dunia pendidikan
Islam.
Makalah
ini akan mencoba mendeskripsikan kondisi dan situasi pendidikan Islam ketika
berhadapan dengan realitas kehidupan dunia modern serta bagaimana seharusnya
pendidikan Islam menjawab tantangan tersebut. Oleh karena itu, penulis
merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sabagai berikut:
B.
RUMUSAN
MASALAH:
Dari latar belakang di atas, timbul
rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Pendidikan Islam?, dan bagaimana tantangannya?
2.
Bagaimana
sebenarnya kehidupan masyarakat modern dan moderinitas?
3.
Bagaimana
pendidikan mensikapi tantangan kehidupan modern?
C.
TUJUAN
PEMBAHASAN:
1.
Agar
memahami pendidikan Islam dan tantangannya
2.
Mengetahui
kondisi masyarakat modern
3.
Mengetahui
bagaimana mengsikapi dunia modern
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENDIDIKAN
ISLAM DAN TANTANGANNYA
1.
Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam
Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip
pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu
proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitarnya,
dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos. Menurut Ki Hajar
Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi
pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak. Sedangkan
pendidikan Islam lebih diarahkan kepada keseimbangan dan keserasian hidup
manusia. Sebagaimana pendapat al-Syaibany yang menyatakan bahwa pendidikan
Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau
kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan.
Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam. Secara konseptual rumusan
pengertian dan tujuan pendidikan di atas begitu ideal, dalam tataran praktis
dan realitas pendidikan Islam masih banyak dihadapkan pada problematika serius
yang memerlukan pemecahan untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut.
2.
Tantangan dan Problematika Pendidikan Islam di Era Modern
a. Sistem
Pendekatan dan Orientasi
Di
tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi
yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang
memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilan
yang merajalela di luar kehidupan Islam dengan dasar dalil: (jika telah datang
perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang batil) perlu dilakukan
modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang berdasarkan atas pandangan yang
realistis bahwa Islam sebagai suatu kebenaran baru mampu berkembang dengan
sepenuhnya dalam masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat
sasaran melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.
Pendidikan
Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat. Tantangan
tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba
multi-interest yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi
kompleks pula. kejiwaannya, maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi
nafas agama. Secara riil Pendidikan Islam di era modern masih menemukan kesulitan memenuhi
tuntutan seperti itu. Orientasi pendidikan Islam seringkali masih kepada
kehidupan ukhrawi. Ini mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara
bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas
karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke masa depan dari pada
masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan
khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan,
sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s.d 14)
tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita. Lebih-lebih dalam menghadapi
pergeseran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan yang
belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk
menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman.
b. Pelembagaan
proses kependidikan Islam.
Pendidikan
Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan
model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai
moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan
berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner’s potential
orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh
karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh
proses kependidikan Islam dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang
berorientasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented system) berdasarkan
atas pendekatan sistemik.
Dalam
operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan
masyarakat tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan
kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu
sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis
pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf rising
demand masyarakat. Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju
ke arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari
tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak.
Inilah
sebagai pencerminan kemelut yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian
permasalahannya lembaga pendidikan Islam pada khususnya harus bangkit
kesadarannya bahwa lembaga pendidikan Islam kita yang masih bersikap
konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat
transisional seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam
wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu
menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi bila
diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur
dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati tiap pribadi manusia
melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka pendekatan sistemik yang bersifat
missionair dimana faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih
diprioritaskan dalam perencanaan.
c. Pengaruh
sains dan teknologi canggih
Sebagaimana
telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai
kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup
sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi
menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin beragam,
memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang
dan bahkan yang gelap. Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai
menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan
melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam
berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu mutmainnah yang
dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronis dan
informatika melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya seperti kecerdasan
fikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya
dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer,
fotokopi jarak jauh (faximile), video cassett recorder (VCR) dan komoditi
celluloid (film, video, disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik
kita tidak perlu lagi belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan dan berfikir
ilmiah taraf tinggi karena alat-alat teknologis telah mampu menggantikannya
dengan komputer penerjemah semua bahasa asing, robot-robot telah siap
mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak
(komputer generasi baru) yang mampu berfikir lebih cepat dari otak manusia
sendiri, lalu bagaimana tentang proses menginternalisasikan dan
menstransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia.
Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai
spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad 20 nanti mesin itu akan
diciptakan manusia.
B.
KEHIDUPAN
MASYARAKAT MODERN
1.
Pengertian
Kehidupan Modern dan Modernitas
Secara
etimologis kata modern diartikan of the present or recent times, new; up to
date, artinya modern berarti sekarang, saat ini atau baru. Makna umum dari perkataan
modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini.
Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan
masa lampau. Atas dasar inilah manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi
pola kesadarannya. Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern”
yaitu pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini. Kalau
kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang
dan masa depan.
Dalam
masyarakat barat, modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan
usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama
dan sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan
keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di suatu tempat akan selalu beriringan
dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu.
Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima
atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang
lain. Pembaharuan ini biasanya dipergunakan sebagai proses untuk memperbaiki
keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik
dari sebelumnya.
Menurut
Nurcholis Madjid, modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi bukan
westernisasi yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang
tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang
rasional. Jadi modernitas adalah rasionalitas.
2.
Kecenderungan
dan Ciri Dunia Modern
1.
Kecenderungan
Dunia Modern
Ada
beberapa pandangan mengenai corak kehidupan di masa modern sekarang ini.
Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan di masa sekarang dan mendatang akan
ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan
untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah
belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dua kecenderungan ini sudah
menjadi kenyataan di berbagai kawasan dunia ini.
Integrasi
ekonomi telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (EU), di Amerika
Utara dalam bentuk NAFTA (North American Free Trade Area), di Asia dan Pasifik
dalam bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dan Asia Tenggara dalam
bentuk AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam pada itu fragmentasi politik terjadi
di mana-mana: di bekas negara Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Soviet, di
berbagai negara di Afrika. Fragmentasi di berbagai kawasan ini terjadi karena
berbagai alasan. Kekuatan yang paling potensial untuk menimbulkan fragmentasi
ini ialah etnisitas dan agama.
Corak
kedua, ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa
mendatang. Salah satu arti “globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu
seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan,
masalah narkotika, masalah HAM-untuk menyebut beberapa contoh-dipandang sebagai
persoalan-persoalan yang bersifat global dan menyangkut nasib seluruh umat
manusia. Di dalam zaman globalisasi ini, tidak ada satu negara pun yang dapat
bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan
global yang terdapat di seluruh dunia.
Globalisasi
adalah suatu proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramatis
dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan oleh
perkembangan yang pesat dalam teknologi, terutama teknologi komunikasi dan
bertambahnya arus modal secara bebas. Globalisasi akan menjadikan berbagai
bidang sebagai komoditas dan komersil, termasuk pendidikan. Globalisasi juga
akan menciptakan kompetisi terbuka di segala bidang. Persoalannya adalah
bagaimana meningkatkan daya saing kita agar tetap kompetitif.
Corak ketiga yang banyak pula dikemukakan
orang ialah bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan
cepatnya ini akan merubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja.
Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan
lagi, dan timbullah pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru.
Muncullah tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru. Akibat
dari situasi semacam inilah maka “pendidikan ulang” (reeducation) atau
“pelatihan ulang” (retraining) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas
dan untuk mengurangipengangguran.
Kecenderungan
keempat yang banyak disebut-sebut oleh para ahli ialah bahwa proses
industrialisasi dalam ekonomi dunia menuju pada penggunaan teknologi tingkat
tinggi. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan “dieksport” dari
negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang.
Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha
yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.
2.
Ciri-ciri
Masyarakat Modern
Menurut
Ginanjar Kartasasmita, masyarakat modern selain memiliki ciri utama derajat
rasionalitas yang tinggi, juga memiliki ciri-ciri lain yang berlaku umum yaitu
:
a.
Tindakan-tindakan
sosial
Dalam
masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial (social action) lebih
bersandar pada kebiasaan atau tradisi. Dalam masyarakat modern,
tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu,
salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak
masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan
berdasarkan pilihannya sendiri.
b.
Orientasi
terhadap perubahan
Dalam
masyarakat pra modern, perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris
perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun. Makin maju
masyarakat makin cepat perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang
senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering
dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu
sendiri. Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang senantiasa
dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang makin cepat, sehingga
acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.
1.
Sikap kita
terhadap modernitas
Modernitas
sering dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan tradisional. Modernitas
tidaklah identik dengan paham materialisme. Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai
berkah dari ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham
yang menganggap bahwa hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah
ilusi para penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan
paham materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada
fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk mengikuti
perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap haram materi ataupun
kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang beranggapan bahwa materilah
yang paling penting dan menolak segala hal yang berbau spiritual, termasuk
keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam menyodorkan keseimbangan dalam memandang
kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu.
Dengan
demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi dari kemajuan dan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah ‘musuh’ dari paham
ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau jauhi. Perlu diakui bahwa
beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat, tidaklah semuanya buruk dan
‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi muda menggunakan celana jeans,
makan ‘fast food’ (lepas dari masalah kesehatannya), dan mendengarkan musik pop
sepanjang mereka tetap berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah
dan perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan pemahaman
tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih percaya diri dan
mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur dan terseret oleh
eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang remaja yang agamis perlu
memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan tawaran dari dunia modern tapi
tetap sadar akan pentingnya memegang integritas dan standar moral dari
keyakinan agama yang dimilikinya.
Problema
yang dihadapi manusia modern, menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang
tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak tetapi juga pengisian jiwa,
pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang
mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak kedalam ikatan
tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran
manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan
harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya manusia yang ikhlas.
2.
Strategi
Pembelajaran
Secara
moral berbagai persoalan yang timbul sebagai akibat dari kemajuan, merupakan
tanggung jawab kalangan dunia pendidikan, untuk mencari akar pemecahannya
melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara sosiologis ada
beberapa strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan
tersebut di atas di antaranya kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan
visinya yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Dunia
pendidikan seharusnya melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang
bertujuan membantu para lulusan agar dapat melakukan fungsinya sebagai khalifah
di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah.
Jika visi tentang lulusan lembaga
pendidikan tersebut disepakati, maka konsekuensinya perlu dirumuskan kembali
mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada konstruksi sosial, yaitu
kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam
ini sifatnya dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan
tuntutan perubahan sosial. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan paradigma
pembelajaran student centered, sehingga siswa terlatih untuk bersikap kreatif,
mandiri dan produktif. Sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat
yang maju. Kondisi semacam ini akan menciptakan masyarakat belajar (learning
society).
3.
Keterpaduan
antara ilmu agama dan umum.
Keterpaduan
antara berbagai disiplin ilmu umum dan keterpaduan antara disiplin ilmu umum
dan ilmu agama perlu dilakukan, tanpa mengorbankan spesialisasi yang menjadi
ciri masyarakat modern. Dalam hal ini spesialisasi harus dilakukan dalam
hubungannya dengan pembidangan yang secara teknis memang harus dilakukan
mengingat tidak mungkin di masa sekarang ini setiap orang dapat menguasai
keahlian dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Namun spesialisasi itu harus
ditempatkan dalam kerangka saling berhubungan antara satu ilmu dengan ilmu
lainnya. Pemikiran keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama ini pada tahap
selanjutnya membawa kepada timbulnya konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang
menjadi bahan diskusi yang sampai saat ini belum selesai.
4.
Penerapan
Akhlak tasawuf
Kehidupan
modern yang materialistik dan hedonistik dengan segala akibatnya yang saat ini
mulai melanda kalangan dunia pendidikan perlu diimbangi dengan penerapan akhlak
tasawuf. Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah, diterimanya siswa
yang NIM-nya rendah dengan sarat ada uang
pelicin, pemberian beban biasa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan
oeningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus
globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja
sudah demikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat
menaruh harapan masa depan bangsa.
Keadaan
dunia pendidikan seperti demikian itu, diperparah dengan beredarnya obat-obat
terlarang di sekolah-sekolah. Berbagai tindakan yang paling aman dan gangpang
bagi sekolah adalah mengeluarakan siswa yang jelas-jelas terlibat dalam
penyalahgunaan obat-obat terlarang itu. Perlu dipikirkan cara lain agar tidak
mengorbankan pihak manapun.
Alternatif
lain yang perlu dikembangkan dalam mengatasi masalah tersebut di atas adalah
dengan mengamalkan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akhlak tasawuf perlu
disuntikkan ke seluruh bidang studi yang diajarkan sekolah. Menurut Jalaludin
Rakhmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya
memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah
didirikan “lembaga pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal adalah the
institute of society, ethic and life. Kini telah disadari bahwa sulit bagi
ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata sains
tidak boleh dibiarkan lepas dari etika kalau tidak ingin senjata makan tuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik
kesimpulan, bahwa kehidupan dunia modern yang membawa pada era globalisasi,
ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan.
Berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari materi, guru,
metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan
murid perlu ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini perlu
dilakukan, jika dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam
memandu perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar
dihadapkan pada tantangan yang berat yang penanganannya memerlukan keterlibatan
berbagai pihak yang terkait.
Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan
yang ada. Untuk itu saran, masukan dan kritik yang membangun kami nantikan demi
perbaikan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Syaibany, Omar Moh. Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).
Arifin,
H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).
Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta:
Gema Insani Press, 1995).
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html
Hidayat,
Komarudin, Upaya pembebasan Manusia Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern
Menurut Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut
Islam, (Jakarta: Grafiti Press, 1987).
Langgulung,
Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).
Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.
Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198
Shihab,
Quraysh, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).
0 Response to "Pendidikan Islam di Era Modern"
Post a Comment
Silahkan komentar dengan baik